KEDAULATAN RAKYAT VS PUTUSAN FINAL DAN MENGIKAT MK
KEDAULATAN RAKYAT VS PUTUSAN FINAL
DAN MENGIKAT MK
Indonesia mengenal dan mengakui adanya system Demokrasi
dimana Demokrasi itu sendiri adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hal itu terlihat seolah-olah sempurna karena semua hal yang dibuat sebagai
suatu kebijakan di Pemerintahan adalah untuk kepentingan rakyat semata, di
dalam system yang ada terlihat secara kasat mata berjalan dengan baik dan
benar, namun ketika kita telaah satu per satu dengan teliti maka terlihatlah
bahwa system yang selama ini kita anggap paling benar dan bagus memiliki banyak
celah yang memungkinkan seseorang untuk berbuat curang dan menyalahgunakan
jabatan serta wewenangnya demi kepentingan suatu golongan.
Seperti yang tertulis pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945
Amandemen ke 3 tertulis “Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang”, hal ini lah yang menjadi dasar Kedaulatan
tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam pelaksanaan nya yaitu yang
berupa Undang-Undang harus lah untuk kepentingan rakyat. Undang-Undang dibentuk
oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama-sama
dengan Presiden, dimana DPR dan Presiden adalah perpanjangan tangan rakyat
dalam mengurusi kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat, DPR dan Presiden dipilih
langsung oleh rakyat di dalam Pemilihan Umum. Oleh karena kedaulatan rakyat
telah dipercayakan kepada DPR dan Presiden untuk membuat Undang-Undang, sudah
seharusnya Undang-undang yang dibuat adalah juga untuk kepentingan rakyat.dari
ulasan tersebut seolah-olah kita tidak akan menemukan permasalahan lagi karena
memang setiap kebijakan yang dibuat oleh Presiden dan DPR pastilah untuk
kepentingan rakyat semata, namun pada kenyataan nya masih banyak saja rakyat
Indonesia yang protes bahkan merasa ditindas dan menderita karena kebijakan
atau Undang-undang yang telah dikeluarkan yang katanya adalah untuk kepentingan
rakyat. Menjadi sebuah hal yang lucu ketika yang katanya adalah untuk
kepentingan rakyat yang pastinya adalah untuk kesejahteraan rakyat namun
rakyatnya tidak setuju atau malah menolak dengan keras kebijakan yang dibuat
oleh Presiden dan DPR.
Siapa
Rakyat itu?
Dalam hal seperti ini mungkin kita
harus lebih teliti dalam memaknai kata “rakyat” yang diucapkan atau yang selama
ini dibela oleh si pembuat Undang-Undang. Ada beberapa pendapat mengenai
rakyat.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, rakyat adalah “ penduduk suatu
negara”.
Aloys
Budi Purnomo, rakyat adalah “pemegang “kedaulatan”
negara”.
Doed
Joesoef, Rakyat adalah
keseluruhan perorangan atau individu yang hidup di wilayah nasional dan tunduk
pada peraturan perundangan yang sama”.
Issei, Rakyat
adalah “konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak
harus berarti seluruh penduduk”.
Dari beberapan pendapat yang ada diatas
nyatalah bahwa pemikiran atau pemahaman mengenai rakyat itu sendiri tidaklah
sama atau seragam, ada perbedaan-perbedaan yang menimbulkan efek yang sangat
besar dalam membuat sebuah kebijakan bilamana pemaknaan mengenai siapa rakyat
itu bukanlah rakyat yang sebenarnya yaitu penduduk atau warga negara Indonesia
secara keseluruhan. Keberagaman pemaknaan mengenai kata “rakyat” bukanlah hal
yang sepele, seperti pendapat Issei mengenai rakyat adalah sebuah konsepsi
politik hal ini tentu saja menarik karena dalam pernyataan nya rakyat tidak
harus berarti seluruh penduduk, jadi segelintir orang adalah rakyat juga. Hal
ini yang sering menjadikan Undang-Undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden
bukan bertujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh,
tetapi untuk kepentingan segelintir orang yang telah menyisipkan beberapan
pasal atau ayat pesanan yang bertujuan untuk menyelamatkan atau menguntukan
suatu golongan itu saja. Politik bukanlah hal yang buruk, namun pada kenyataan
nya kedaulatan rakyat masih dihantui oleh politik yang sudah kotor dan
merugikan rakyat. Kedaulatan yang seharusnya milik rakyat secara keseluruhan
atau penduduk Indonesia, menjadi milik segelintir orang yang mengatas namakan rakyat
Indonesia. Kalau saja benar adanya kedaulatan berada di tangan rakyat yang
disini merupakan penduduk Indonesia secara keseluruhan, tidak mungkinlah dibuat
Undang-undang yang mencederai hati rakyat dan merugikan serta tidak memihak
kepada rakyat.
Kedaulatan
yang semu.
Banyak permasalahan yang
muncul bila kita meneliti apakah kedaulatan itu benar milik rakyat secara
keseluruhan ataukah hanya milik rakyat dalam arti sebuah golongan atau orang
perorangan. Di dalam membuat sebuah Undang-Udang atau kebijakan haruslah
benar-benar memihak kepada rakyat yang telah memberikan kepercayaan untuk
mengatur kedaulatan yang ia miliki. Pemikiran orang mengenai suatu jabatan atau
kedudukan yang ia terima dari rakyat bukan lah sebagai pelayan untuk rakyat,
namun sebagai tuan dari rakyat. Konsepsi pemikiran seperti ini lah yang
menjadikan rakyat sengsara dan menderita, sudah seharusnya setiap orang yang
jabatan nya ada karena kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat dan dipercayakan
kepadanya malu dan instrospeksi diri atas kinerja mereka.
Salah satu permasalahan
yang menguji kebenaran kedaulatan berada di tangan rakyat adalah permasalahan
outsourching. System Outsourching timbul karena adanya UU Ketenagakerjaan Nomor
13 Tahun 2003 dimana pada pasal 59 dan pasal 64 diatur mengenai system tersebut
yang ternyata merugikan rakyat. Dalam proses mengembalikan kedaulatan di tangan
rakyat mengenai hal outsourching ini timbul beberapa kendala yaitu karena
adanya putusan MK No 27/PUU-IX/2011 menanggapi gugatan yang diajukan mengenai
pasal 59 dan pasal 64 tersebut.
Bila
kita telaah secara perlahan-lahan, Undang-Undang itu muncul atas persetujuan
DPR dan Presiden yang tentu saja untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Namun pada kenyataan nya banyak permasalahan yang muncul dari UU No.
13 Tahun 2003, terkhususnya pasal 59 dan pasal 64, dari hal ini muncullah
pertanyaan benarkah setiap kebijakan atau Undang-undang yang dibuat adalah
untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat? Bila memang benar, kepentingan
rakyat yang manakah itu? Namun permsalahan itu seolah-olah telah teratasi
dengan keluarnya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No
27/PUU-IX/2011 dimana MK mengabulkan sebagian
permohonan pemohon dimana system outsourching itu sepanjang
dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun
terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan
dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan
keluarnya putusan MK tersebut yang bersifat Final dan Mengikat bukan berarti
permasalahan sudah tidak ada lagi, bila permasalahan tersebut sudah selesai
maka buruh tidak akan melakukan demo penolakan system outsourching pada tanggal
3 Oktober 2012. Menjadi hal yang menarik karena putusan MK bersifat Final dan
Mengikat, namun pada saat rakyat tidak menyetujui putusan tersebut apakah
kedaulatan rakyat dapat mengalahkan putusan MK yang bersifat Final dan Mengikat
tersebut? Dalam hal ini seolah MK adalah batasan terkahir, dimana hanya dia
yang dapat menentukan sesuatu itu sesuai atau tidak dengan UUD 1945, namun
sebagai manusia tidak mungkin dapat memberikan suatu putusan yang adil bagi
seluruh rakyat.
Pada
kondisi seperti ini, dimana para buruh menuntut untuk penghapusan system
outsourching sedangkan dalam putusan MK hanya menyatakan bahwa system itu
melanggar atau tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memutuskan untuk
menghapus system itu namun mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam proses
pelaksanaan system itu saja menjadi suatu dilema. Apakah kedaulatan tertinggi
masih ditangan rakyat saat kedaulatan itu berhadapan dengan suatu putusan yang
bersifat Final dan Mengikat? Bukankah MK sendiri lahir untuk menegakkan
keadilan dan menjaga tonggak-tonggak Konstitusi agar berdiri dengan kokoh?
Namun saat rakyat tidak menyetujui putusan tersebut, siapa yang harus di
dengarkan?
Sesuai
dengan pasal 1 ayat 2 UUD 1945, maka suara rakyat lah yang harus di dengarkan.
Saat rakyat bergolak menolak system outsourching yang telah merugikan mereka,
maka dengan sendirinya putusan MK yang bersifat Final dan Mengikat itu menjadi
tidak berdaya dan system outsourching tersebut harus dihapuskan sesuai dengan
tuntutan rakyat. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat Indonesia, bukan
berada di tangan segelintir orang yang memperoleh jabatan berdasarkan UUD, saat
kebijaksanaan atau UU yang dibuat tidak sesuai dengan kehendak rakyat dan
kepentingan rakyat.
dan menjadi dilema, bagaimana kita dapat mengawasi putusan? apakah perlu sebuah lembaga pengawas putusan tersebut? namun yang perlu ditekankan adalah suara rakyat adalah Konstitusi tertinggi.
Komentar
Posting Komentar