URGENSI BANTUAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM KASUS KORUPSI

Arif Sharon Simanjuntak
8111411255
Fakultas Hukum Univeritas Negeri Semarang

Bantuan hukum adalah hal yang menjadi hak dari setiap orang yang dijamin oleh negara seperti yang telah dituliskan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pada pasal 28 D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Pada pasal 28 G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Serta pada Pasal 28H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dapat kita lihat bahwa Undang-Undang Dasar kita mengakui sedemikian rupa perlindungan dan persamaan hak yang sama bagi setiap orang didepan hukum. Dimana setiap orang berhak untuk memperoleh bantuan hukum pada saat dia mengahadapi permasalahan hukum dan menjadi satu hak bagi dia untuk memperoleh bantuan tersebut, terlepas dia sebagai pelaku ataupun korban dalam sebuah kasus hukum. Untuk menjalankan isi dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut muncul juga lah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dimana pengertian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang ini seperti yang ditulis pada Pasal 1 poin 1 “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma kepada Penerima Bantuan Hukum´ 
Dalam hal ini pembahasan yang saya angkat adalah Bantuan Terhadap Saksi Dalam Kasus Korupsi. Karena seperti yang dapat kita temukan dalam keseharian kita, bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi ini masih dianggap menjadi hal yang tidak terlalu perlu sehingga menjadi perdebatan dikalangan akademisi maupun para praktisi hukum terkait bantuan hukum ini.
Sebagai negara hukum seperti yang tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, maka konsekuensi logisnya adalah setiap tindakan ataupun kegiatan dari pemerintah harus memiliki payung hukum sebagai dasar pelaksanaan kegiatan tersebut. Dalam hal ini, bantuan hukum adalah sebuah kegaiatan yang diberikan oleh pemerintah maupun swasta dalam menjaga agar hak-hak orang yang sedang menghadapi permasalahan hukum tidak dicurangi. Namun dalam mengamalkan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan dengan baik. Pembangunan negara menjadi sebuah negara hukum belum maksimal, karena menjadikan sebuah negara menjadi sebuah negara hukum pastilah memiliki banyak rintangan. Yang dimaksud dengan pembangunan yang belum kunjung selesai disini adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang menyenangkan, menyejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia (Satjipto Raharjo, 2007: 46-47). Seperti yang kita pahami dalam pembahasan kita ini adalah masih dipermasalahkannya bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi, jelas lah dalam hal ini hukum masih belum ditegakkan karena banyaknya kepentingan-kepentigan yang mengatasnamakan keadilan namun menciderai keadilan bagi pihak lain.
Terlepas dari alasan bahwa memberikan bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan alasan bahwa bantuan hukum dalam hal ini yang sering dibutuhkan adalah pendampingan hukum oleh advokat, dinyatakan dapat memperlambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus korupsi, tidaklah mengurangi hak dari seorang warga negara yang dalam hal ini menjadi saksi untuk memperoleh bantuan hukum. Adalah hak bagi seorang saksi untuk memperoleh bantuan hukum seperti yang telah diatur dalam UUD 1945, dan hal tersebut juga telah diakomodir didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada Pasal 15 yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;” 
Dalam hal penyidikan dan penyelidikan guna membongkar kasus korupsi, saksi haruslah memperoleh jamiman terhadap hak-haknya tidak terancam atau dibawah tekanan. Sebab saksi dalam hal ini memperoleh peranan penting guna kelancaran penyelesaian kasus tersebut. Saksi dalam kasus korupsi juga dapat memperoleh tekanan dari berbagai pihak, karena seperti yang saya pahami bahwa kasus korupsi bukanlah kejahatan biasa saja, namun telah menjadi sebuah kejahatan  yang luar biasa. Ada kecenderungan, saksi yang diajukan atau menjadi saksi dalam kasus korupsi berubah statusnya menjadi tersangka, hal ini tentu saja menjadi hal yang mengkhawatirkan dan membuat takut orang-orang untuk bersaksi dalam kasus korupsi.
Perubahan status dari saksi menjadi tersangka dikarenakan tidak semua orang memahami bahasa hukum yang dipergunakan oleh penyidik dalam meminta keterangan dari saksi. Artinya, kemungkinan seorang saksi menjadi tersangka adalah mungkin, sebab orang yang menjadi saksi dalam kasus korupsi biasanya mengetahui banyak mengenai kasus tersebut sehingga perubahan status dikarenakan ketidakmengertian terhadap Bahasa yang digunakan penyidik dapat menjadikan dia sebagai tersangka. Dalam hal inilah peranan bantuan hukum dibutuhkan oleh saksi tersebut. Seorang saksi secara psikologis, saat berada dalam situasi normal atau tanpa tekanan akan dapat berpikir dengan tenang untuk berbicara, namun saat sudah diperhadapkan dengan aparat penegak hukum dan diberikan pertanyaan-pertanyaan terkait kasus korupsi akan berubah kondisi kejiwaannya. Kondisi kejiwaan yang dahulunya tenang akan berada dibawah tekanan, mengakibatkan seorang saksi tidak dapat berpikir dengan tenang, dan kecenderungan untuk menjawab tanpa berpikir panjang dapat terjadi yang tentunya akan merugikan hak-hak dari seorang saksi tersebut. Oleh karena itulah perlunya seorang penasehat hukum guna memberikan rasa tenang dan membantunya dalam proses penyidikan.
Undang-undang Bantuan Hukum menyebutkan empat elemen yang dapat memberikan bantuan hukum, yaitu advokat, dosen, paralegal dan mahasiswa hukum. Keempat elemen tersebut oleh UU dijamin menjadi bagian dari kegiatan bantuan hukum dan mereka akan bekerja dibawah organisasi bantuan hukum. Peraturan Pemerintah tidak perlu lagi membatasi bahwa yang dapat memberikan bantuan hukum hanyalah advokat, tetapi yang perlu dilakukan adalah memperjelas ruang lingkup kerja masing-masing dalam memberikan bantuan hukum. Selain itu, PP juga perlu memperjelas beberapa kriteria pemberi bantuan hukum seperti legalitas LKBH yang ada di perguruan tinggi, ataupun lembaga bantaun  hukum yang dibuat oleh organisasi kemasyarakatan seperti serikat buruh. Dalam pembahasan ini saya lebih menitikberatkan bantuan hukum oleh Advokat.
Bagaimana peranan Advokat dalam mengawal serta menjaga hak-hak dari seorang saksi untuk menyelesaikan kasus korupsi sangatlah penting. Seorang penasehat hukum ataupun advokat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pada Pasal  (1) menyatakan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.  Sedangkan pada pasal (2) menyatakan Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,  menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.  Dinyatakan bahwa advokat memberikan jasa hukum bagi mereka yang membutuhkannya, dalam hal ini menurut pemahaman saya bahwa saksi adalah orang yang membutuhkan jasa hukum dari advokat sehingga bila ia meminta bantuan hukum maupun jasa hukum haruslah diberikan dan dapat diberikan oleh advokat.
Dalam hal pemberian bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi adalah juga  sebagai bentuk perlindungan negara terhadap manusia pribadi atas tindakan sewenang-wenang dari penguasa (detournement de povoir), hak-hak dan kebebesan perseorangan (individual freedom) yang harus diakui, pengakuan atas kebebasan perseorangan ini mempunyai hubungan erat dengan persamaan dihadapan hukum (equality before the law) (Frans H. Winarta, 2009: 7).
 Bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi tidak terlepas dari permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui oleh negara kita. Adalah hak bagi setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum seperti yang telah diatur dalam pasal 27 UUD 1945 yang juga bersesuaian dengan pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ditegaskan: ”Semua orang sama didepan hukum dan berhak atas perlindungan yang sama tanpa ada diskriminasi”. Berdasarkan kepada Deklarasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dunia internasional mengakui adanya persamaan dalam perlindungan hukum tanpa pandang bulu terhadap siapapun. Ketentuan ini juga ditegaskan kembali dalam pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) yaitu: “Semua orang sama di depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini, hukum harus melarang setiap diskriminasi dan menjamin kepada semua orang perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya”.
HAM dalam sebuah negara hukum haruslah dijunjung tinggi, sebagai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dari setiap warga negaranya tersebut. Dalam hal ini juga, bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi haruslah sebagai sebuah alasan untuk menjungjung tinggi HAM dan mengawal hak-hak konsitusional warga negara agar tidak tercurangi dalam hal penyelesaian kasus korupsi. Karena pada kenyataannya permasalahan HAM adalah permasalahan yang sensitive dan perlu pengawasan yang cukup serius terhadap pelaksanaannya, banyak kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tejadi dan belum terselesaikan hingga pada saat ini, oleh karena itu wajarlah bila bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi dinyatakan sebagai bentuk pengawalan terhadap hak-hak asasi manusia untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM yang merugikan individu tersebut.

Dalam penyelesaian kasus korupsi, seperti yang sudah saya sampaikan diatas bukanlah kejahatan biasa, namun dikarenakan kejahatan ini adalah kejahatan yang luar biasa maka posisi sebagai saksi dalam kasus korupsi juga rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu bantuan hukum dalam hal ini mutlak untuk diberikan. Orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi, bukanlah orang-orang biasa, namun orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintahan yang dalam hal ini memiliki kuasa untuk melakukan sebuah tindakan yang membahayakan keamanan saksi baik itu dalam proses penyelidikan ataupun dalam proses penyidikan, sehingga bantuan hukum wajib diberikan kepada saksi dalam kasus tindak pidana korupsi.
Ketakutan akan adanya kecurangan terhadap hak-hak saksi dalam kasus tindak pidana korupsi dan dibutuhkannya pendampingan hukum oleh Advokat adalah benar.  Komunitas hukum dimana pun di dunia adalah komunitas yang kolot, esotrik, dan anti-perubahan. Maka tidak hean kalau Bung Karno pernah mengatakan met jusristen kan men geen revolutie maken (kita tidak bias berevolusi bersama para ahli hukum), sedangkan Shakespeare berujar “let’s kill all the lawyers”. Komunitas hukum di negeri ini umumnya masih berpikir dengan cara –cara yang klasik. Teramati melalui banyak putusan hukum bahwa pengadilan, kejaksaan, kepolisian, masih berpikir dan bertindak dengan cara yang klasik sebagaimana yang dikatakan oleh Alvin Toffler yang bila diterjemahkan kedalam dunia hukum, mereka bersikap sangat submisif terhadap hukum positif, tidak kreatif, apalagi berani mematahkan aturan yang ada (rule breaking). (Satjipto Raharjo, 2007:129). Artinya kecenderungan berpikir para penegak hukum kita dalam menangani kasus korupsi belum menjamin, hak-hak dari saksi tidak akan tercurangi, oleh karena itu bantuan hukum oleh Advokat haruslah diberikan.
Pemberantasan kasus korupsi di Indonesia tetap berjalan dan dijalankan menurut hukum. Ironisnya, kalau hukum itu diterima, dipahami, dan dijalankan menurut cara klasik, peran hukum dalm pemberantasan korupsi akan jauh panggang dari api. Malah alih-alih hukum berperan besar, ia menghambat pemberantasan kasus korupsi. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang ada, yang belum mengatur dengan jelas mengenai bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi menjadi hal yang harus diperhatikan demi kelancaran pemberantasan kasus korupsi.
Bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus korupsi haruslah kita lihat sebagai semangat untuk menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, dan sebagai tanggung jawab bersama dalam memberantas korupsi di negara ini. Pandangan skeptis yang terlalu berlebihan terhadap bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi akan menghambat kelancaran pemberantasan korupsi bijaklah bila kita renungkan kembali. Sebab negara kita menjunjung tinggi persamaan di depan hukum, dan menjamin hak setiap warga negaranya tidak tercurangi. Adalah sebuah semangat yang harus kita dukung bersama dalam pemberantasan korupsi kita juga memberikan bantuan hukum terhadap saksi dalam kasus tindak pidana korupsi, haruslah kita junjung tinggi asas equality before the law.



Sumber Referensi
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Buku
Himawan Charles.2006. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: Kompas
Rahardjo Satjipto.2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas
Winarta H. Frans.2009. Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Jakarta: Kompas
Web

www.pbhi.or.id/ Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum/



Komentar

Postingan Populer