LOGIKA HUKUM vs PERASAAN HUKUM.

Text Box: OPINILOGIKA HUKUM vs PERASAAN HUKUM.

Most men wll admit that they are not handsome. Many will concede they are not strong. But none will acknowledge that he is not logical. This is no pecualiarity of our own age, for three centuries ago La Rochefoucauld remarked that men will often apologize for their memory, but never for their judgement.[1]

Melihat pada kalimat tersebut diatas, menjadikan kita berkaca pada keadaan yang terjadi beberapa bulan belakangan ini di Indonesia, khususnya di Jakarta. Polemik yang muncul adalah kasus dugaan penistaan agama yang di blow up sebegitu massive nya sehingga membentuk suatu opini yang mampu menggerakan atau sengaja digerakkan terhadap suatu massa dari kelompok tertentu.
          Dalam pemahaman sebagai orang yang belajar hukum, dalam setiap aplikasi tindakan yang mengedepankan hukum, haruslah mengutamakan logika hukum (legal reason/legal logic). Menganalisa dan memahami suatu permasalahan dari sudut pandang hukum juga harus mengutamakan hal tersebut, seorang ahli hukum dia harus benar murni dalam mengedepankan pemahaman hukumnya, sehingga tidak menimbulkan penerapan hukum based on faith atau berdasarkan emosional saja.
          Para ahli hukum atau mereka yang belajar hukum tidak asing lagi dengan Hans Kelsen, dalam bukunya Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, menjelaskan mengenai konsepsi hukum positif. Pemahaman ini relevan dengan Indonesia yang menganut konsepsi hukum positif, Hans Kelsen memberikan pemahaman bahwa seharusnya dalam penerapan dan pemahaman hukum harus dilakukan dengan benar-benar murni, atau dikenal dengan Teori Hukum Murni.
Teori hukum murni berarti bahwa doktrin ini diupayakan terbebas dari segala unsur yang asing bagi metode khusus dari suatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan tentang hukum, bukan pembentukannya. Suatu ilmu harus menjabarkan tujuannya sebagaimana adanya, bukan menyarankan bagaimana obyek itu seharusnya atau tidak seharusnya dari sudut pandang beberapa pertimbangan nilai tertentu. Yang terakhir merupakan persoalan politis, dan, dengan demikian, berkenaan dengan seni pemerintahan, sebuah aktivitas yang ditujukan kepada nilai-nilai, bukan kepada obyek ilmu pengetahuan, yang terarah pada realitas.[2]

Mengapa penting bagi kita untuk memahami penerapan Teori Hukum Murni, adalah untuk benar menempatkan hukum pada tempatnya. Dengan mencampur-adukkan hukum dengan pertimbangan dan nilai yang lain akan memunculkan ketidakadilan, dan perlakuan yang tidak sama, padahal tujuan terakhir dari hukum adalah keadilan (justice).
Di Indonesia, hukum positif sudah diperlakukan secara tidak terhormat, sudah dicampur dengan politik dan nilai-nilai lain yang sebenarnya memihak kepada mereka yang mencampurnya, namun berdalih adalah untuk kepentingan masyarakat banyak. Hal tersebut dipertegas oleh Hans Kelsen dengan menyatakan, banyak ilmu hukum tradisional yang dicirikan oleh kecenderungan untuk mencampurkadukkan antara teori hukum positif dengan ideologi politik yang disamarkan baik sebagai spekulasi metafisik tentang keadilan maupun sebagai doktrin hukum alam.[3]
Mengapa mencampuradukkan politik kedalam hukum berbahaya adalah terdapat perbedaan mendasar antara hukum dan politik. Hukum mengedepankan logika sedangkan politik adalah berbicara perasaan. Hans Kelsen menjelaskan kembali bahwa,
karena karakter anti-ideologisnya, teori hukum murni membuktikan dirinya sebagai teori hukum yang sebenarnya. Ilmu sebagai pengetahuan selalu memiliki kecenderungan imanen untuk menyingkapkan objeknya. Namun ideologi politik menyelubungi realitas baik dengan cara menyulap wajah realitas dalam rangka untuk melanggengkannya, atau dengan cara menjelek-jelekkan realitas dalam rangka untuk menyerang, menghancurkan, atau menggantinya dengan realitas lain. Akar dari setiap ideologi politik ada dalam kemauan, bukan dalam pengetahuan; dalam unsur emosional, bukan dalam unsur rasional dari kesadaran kita; ideologi politik timbul dari kepentingan-kepentingan tertentu, atau kepentingan-kepentingan lain selain kepentingan terhadap kebenaran. [4]
Sehingga, melihat pada pemahaman diatas menjadikan kita lebih jeli dan lebih dapat memahami penerapan hukum adalah berbasis pada logika bukan perasaan, sebab hal tersebut akan menjadikan hukum menjadi tidak murni mencapai keadilannya.

Bila kita melihat pada keadaan saat ini, masyarakat cenderung memaksa atau menginginkan hukum menjadi sebuah hal untuk menyatakan sesuatu harus seperti ini dan seperti itu. Diantara mereka menggunakan hukum sebagai alat politik, dan memang hal tersebut berpotensi dilakukan karena hukum tidak dibentuk dengan murni tetapi memasukkan ideologi-ideologi politik tertentu. Melihat fenomena tersebut tentu hukum menjadi alat yang menjadi tajam/dipaksa tajam bagi salah satu pihak namun tumpul/dipaksa tumpul bagi pihak lain.
Negara ini, sesuai Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara Hukum”. Namun, pemahaman mereka hanya pada sebatas setiap orang yang dirasa melanggar hukum walaupun belum terbukti harus diberikan sanksi/dihukum. Pemahaman sempit seperti itu muncul karena masuknya ideologi-ideologi politis yang menyembunyikan atau mengaburkan pemahaman tentang hukum tersebut. Menjadikan penerapan hukum based on faith bukan based on logic, sehingga yang mendorong penerapan hukum adalah masalah emosional yang disembunyikan dengan dalih keadilan, bukan murni pada tujuan tertinggi hukum yaitu keadilan.
Dengan mengakui Indonesia adalah negara hukum, seharusnya pemahaman dan penerapan logika hukum harus benar-benar dipahami di negara ini. Namun kenyataannya adalah, pemahaman atau penerapan logika hukum dikesampingkan bahkan terabaikan, sehingga kita mengenal istilah politik determinant hukum. Pada kenyataannya, hukum akan menjadi alat yang dipergunakan sesuai perasaan demi mencapai tujuan tertentu, bukan berdasarkan rasionalitas.
Apalagi dibalut dengan isu agama, nilai ini seharusnya harus dibebaskan dari hukum sebab akan mempengaruhi dan mengacaukan tujuan hukum itu. Agama berdasarkan perasaan, hukum berdasarkan rasionalitas, dan disana akan muncul penyatuan yang dipaksakan sehingga menjadikan hukum menjadi tidak rasional serta memihak. Pada kenyataannya, hukum harus melihat manusia sebagai manusia, bukan melihat manusia sebagai orang yang memiliki nilai-nilai tertentu sehingga menjadikan hukum berpihak atau tidak berpihak kepadanya.
Kepada setiap orang yang menginginkan hukum berlaku sama, harus memperlakukan hukum sebagai hal yang rasional, bukan memaksakan kehendak berdasarkan dalih politik atau agama. Hukum tidak boleh dipaksakan dengan kekuatan massa untuk menekan para penegak hukum, hal tersebut akan mengkhianati nilai hukum untuk mencapai keadilan. Biarkan hukum berjalan pada jalannya, jangan berusaha memaksakan kehendak yang tidak rasional. Bukankan negara kita negara hukum?
Negara Indonesia adalah negara Hukum, bukan negara agama. Hukum dijalankan berdasarkan Konstitusi, bukan karena anjuran agama tertentu. Dan adalah hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan bagi bangsa yang plural bila mencampurkadukkan agama kedalam hukum, hukum harus murni pada hakikatnya, sehingga keadilannya berlaku untuk semua. Bila kita menggunakan atau mengedepankan perasaan, maka niscaya hukum yang pandang bulu akan marak terjadi, dan saat itu kita menyadari kita sedang berpolitik bukan sedang mengaplikasikan hukum.
 Oleh karena itu, kita harus mengkritisi dan bertanya kepada diri sendiri, apakah yang kita lakukan saat ini murni untuk penegakan hukum atau untuk tujuan politis tertentu?



---------------------sekian---------------------
                                                                    



[1] Dalam Makalah Lee Lovevinger, “An Introduction To Legal Logic”, diakses melalui http://www.repository.law.indiana.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2372&context=ilj pada tanggal 21 Februari 2017, pukul 10.08 WIB.
[2] Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Negara, Nusa Media: Bandung, Cetakan VI, Hlm vi.
[3] Ibid, hal. vii
[4] Ibid, hal. ix

Komentar

Postingan Populer