Sebuah Kritik :Menakar Keimanan Melalui RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan[1]


Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat . Ibrani 11: 6

Saat ini, kita kembali dibuat menaruh perhatian untuk membicarakan pada hal yang cukup sensitive bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu berbicara mengenai agama, lebih spesifik lagi berbicara tentang Pendidikan keagamaan. Munculnya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sudah barang tentu menarik perhatian serta memotivasi munculnya banyak pendapat dan pandangan terhadap rancangan undang undang tersebut. Perlu mendapatkan penegasan, tujuan sebenarnya dari RUU ini terkait dengan bantuan pendanaankah atau peningkatan keimanan, atau ada hal lain.
Sebagai warga negara yang juga memeluk agama Kristen, saya juga termotivasi memberikan pandangan dan perhatian saya terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Dalam Draft RUU yang beredar dan yang saya miliki, kemudian saya coba baca serta telaah secara perlahan-lahan, dari hasil telaah tersebut muncul beberapa kritik yang menurut saya perlu menjadi perhatian bagi Komisi VIII DPR RI yang menginisiasi RUU tersebut.

Kewenangan Mengatur Pelaksanaan Pendidikan
Sejauh yang saya pahami, bahwa di Indonesia kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pendidikan merupakan tugas dari Kementerian Pendidikan. Hal yang menarik adalah, dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tersebut, Menteri yang menjadi penanggung jawab adalah Menteri di bidang agama. Saya merasa heran dengan konsep ini, sebab bila RUU ini memang berbicara mengenai Pendidikan kenapa Menteri yang mengurusi Pendidikan malah tidak dilibatkan dalam hal ini.

Kewenangan yang diterima oleh Menteri Agama sebagai pelaksana RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini tentu saja tidak tepat, seharusnya diserahkan kepada Menteri yang mengurusi bidang Pendidikan. RUU  ini menurut saya seolah tidak paham dan tidak tegas dalam menentukan arah dan tujuannya dilihat dari siapa Menteri yang akan mengurus dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan atau implementasi ini.

Lebih tegasnya kenapa seharusnya Menteri yang mengurusi bidang Pendidikan terlibat adalah bila dilihat dari Poin Menimbang RUU tersebut, kita akan mendapatkan pertimbangan-pertimbangan munculnya RUU ini adalah terkait dengan peningkatan keimanan melalui Pendidikan keagamaan.
Saya meragukan bahwa yang membuat Draft RUU ini tidak mengetahui bahwa urusan Pendidikan juga seharusnya melibatkan atau berada dibawah kementerian yang mengurusi Pendidikan. Sudah salah kaprah bila Menteri Agama yang dianggap sebagai Menteri yang tepat untuk menanggungjawabi terkait pelaksanaan RUU ini kelak, sebab sudah tugas dari Kementerian Agama lebih kepada menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sehingga harus dapat dengan tegas dan jelas di bedakan, apakah RUU ini merupakan urusan pemerintahan di bidang agama atau urusan pemerintahan di bidang Pendidikan keagamaan. Namun bila melihat dari judul RUU tersebut, RUU ini lebih kepada penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Pendidikan keagamaan.
Kekeliruan ini seharusnya tidak terjadi bila memang pembentuk undang-undang serius dan paham betul filosofis serta tujuan dibentuknya RUU ini, sehingga tidak menyebabkan kerancuan dan potensi timbulnya tumpang tindih kewenangan antar Lembaga negara. Saya sangat berharap untuk segera masyarakat tahu Naskah Akademik RUU ini sehingga lebih jelas dan terang maksud dan tujuan dibentuknya RUU ini.

Iman, Privat atau Publik?
Terkait dengan tujuan dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam poin menimbang adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia melalui Pendidikan keagamaan lebih lanjut menimbulkan pertanyaan, apakah keimanan seseorang sudah menjadi domain atau ranah yang harus diurusi oleh pemerintah juga melalui regulasi?

Saya tidak tahu dengan pasti di agama lain, namun sejauh yang saya pahami, keimanan seseorang adalah ranah privat atau urusan pribadi lepas pribadi. Karena untuk meningkatkan keimanan, dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan, salah satunya melalui Pendidikan keagamaan, namun bukan berarti orang yang tidak mengikuti Pendidikan juga tidak dapat memiliki iman yang lebih besar dari yang berpendidikan. Saya tidak akan berbicara lebih jauh terkait besar kecilnya iman seseorang sebab ranah ini tentu membutuhkan pemahaman Alkitabiah atau pemahaman keagamaan yang cukup untuk memahami konsep iman dalam masing-masing agama. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, tujuan meningkatkan keimanan bukanlah tujuan yang konkrit dan nyata serta dapat diberikan tolok ukur yang jelas. Bagaimana mengetahui ukuran keberhasilan pelaksanaan regulasi yang mengatur terkait dengan meningkat atau tidaknya iman seseorang? Menurut saya hal ini akan berpotensi besar menjadi sia-sia.

Meningkatkan keimanan seseorang bukanlah tujuan yang tepat, sebab tolok ukur iman standar di Indonesia juga tidak ada. Saya malah terpikir jangan-jangan sudah ada tolok ukur iman yang ditetapkan oleh DPR sebagai penginisiasi RUU ini. Bila demikian, apakah tolok ukur tersebut dan bagaimana mengukur keberhasilan RUU ini terhadap meningkat atau tidaknya iman seseorang setelah RUU ini disahkan dan diimplementasikan? Bila tidak dapat dijawab, lantas tujuan sebenarnya apa? Menurut saya ini sia-sia belaka dan terlalu mengada ada.
Pendidikan NonFormal yang Diformalkan?
Dalam Pasal 69 Draft RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, disebutkan bahwa yang termasuk kategori Pendidikan nonformal agama Kristen yaitu, Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis. Lebih lanjut kemudian diatur dalam Pasal 69 ayat (3) RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan bahwa harus paling sedikit terdiri dari 15 orang peserta. Ketika saya melihat penjelasan dalam Pasal tersebut, dinyatakan cukup jelas, padahal masih ada hal-hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Tidak dapat diketahui dengan pasti, kenapa Pendidikan nonformal tersebut harus memiliki minimal peserta sebanyak 15 orang, dengan kata lain bila hanya ada 14 orang saja yang menjadi peserta Pendidikan nonformal tersebut sudah melanggar ketentuan dalam RUU ini. Selanjutnya, kenapa jumlah minimal adalah 15 orang, kenapa tidak lebih banyak atau lebih sedikit? Tidak ada tolok ukur yang jelas menetapkan minimal peserta adalah 15 orang, hal ini sangat mengada-ada. Pembuat undang-undang harusnya paham, bahwa Pendidikan nonformal tidak perlu diatur hingga sedemikian rinci harus ada minimal pesertanya, bila demikian masihkah ini dinamakan Pendidikan nonformal? Apakah pembentuk udang-undang ini punya data bahwa tiap gereja diseluruh Indonesia sudah pasti ada minimal 15 orang yang ikut Sekolah Minggu atau Katekisasi? Saya rasa Komisi VIII DPR RI tidak punya data ini, sehingga perlu dipertanyakan atas dasar/data apa menetapkan jumlah minimal peserta Pendidikan nonformal ini.

Kemudian, bagaimana pembentuk undang-undang menyatakan bahwa Sekolah Minggu dan Katekisasi termasuk dalam Pendidikan nonformal? Apakah karena Sekolah Minggu menggunakan kata “Sekolah”? padahal pemahaman Sekolah Minggu dalam hal ini bukanlah Sekolah sebagaimana yang dikenal masyarakat pada umumnya. Dalam gereja saya, sekolah minggu adalah sebutan bagi peribadatan yang dilakukan oleh peserta yang belum naik sidi, atau umumnya pesertanya adalah anak anak-anak dari umur 5 tahun hingga 12 tahun. Tidak ada kurikulum dalam hal ini, namun hanya ibadah biasa dengan tata ibadah yang disesuaikan dengan umur anak tersebut.

Bila Sekolah Minggu sudah masuk dalam kategori Pendidikan nonformal, sama saja negara mengatur bagaimana seseorang harus beribadah. Suatu hal yang sangat melanggar hak asasi manusia, dimana kebebasan untuk menjalankan agamanya menjadi terbatas karena munculnya regulasi yang mengekang hak hak tersebut. Negara seharusnya tidak terlalu jauh mengurusi bagaimana seseorang menjalankan ibadahnya, yang negara seharusnya lakukan adalah menjaga seseorang agar dapat menjalankan ibadahnya dengan rasa aman dan tentram tanpa gangguan dari pihak manapun.
Ketidakpahaman dan ketidaktahuan pembuat undang-undang terhadap hal yang ingin diaturnya sudah pasti akan menelurkan regulasi yang salah dan menimbulkan kekacauan. Dari draft ini semakin jelas terlihat, masyarakat tidak dilibatkan secara komprehensif dalam pembuatan dan perancangan peraturan ini.

Ambiguitas Tujuan
Terhadap draft RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini, selain 2 kritik yang sudah saya sampaikan diatas, kritik lain menurut saya adalah belum adanya urgensitas harus dikeluarkannya RUU ini. Bila memang ada tujuan untuk memberikan perhatian dan bantuan dana bagi pesantren dan Pendidikan keagamaan, seharusnya diatur dengan tegas terkait regulasi pemberian bantuan dana tersebut. Namun menurut saya, dengan dalih pemberian bantuan dana untuk Pesantren dan Pendidikan Keagamaan namun mengatur terkait dengan hal-hal yang dikategorikan pribadi adalah tidak benar dan tidak tepat dilakukan melalui RUU ini. Seharusnya dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini membahas seputar pengaturan pemberian bantuan pendanaan saja tanpa mencampuri dan mengatur terkait dengan pelaksanaan ibadah seseorang.

Penutup
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas, yang kemudian muncul dalam pikiran saya adalah, RUU ini sebenarnya untuk kepentingan suatu pihak tertentu, namun akhirnya dibuatkan regulasi dengan cara mengikutsertakan pihak lain dimasukkan dalam regulasi tersebut agar terlihat mengakomodir kepentingan semua pihak padahal pada kenyataannya regulasi tersebut tidak tepat.
Saya juga khawatir, negara semakin jauh ikut campur dalam urusan keimanan dan agama warga negaranya. Kemudian, akan sampai pada tingkat yang lebih dalam lagi, apakah konstitusi kita memisahkan agama dengan negara atau negara dan agama merupakan satu kesatuan? Perlu menjadi perhatian penting, negara kita bukanlah negara agama namun negara yang warga negaranya memiliki agama.

Tugas negara, haruslah kembali kepada amanat konstitusi sebagaimana dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Negara jangan sampai bertindak terlampau jauh untuk sampai pada titik ikut campur dalam hal menjalankan agama suatu agama atau kepercayaan di negara ini sebab hal tersebut tidak sesuai dengan amanat konsitusi.

oOo





[1] Tulisan ini adalah opini dan bukan sebuah produk hukum yang mengikat.


Komentar

Postingan Populer