RANDOM THOUGHT: ADU PIKIR,



Dahulu saya pernah di posisi itu, atau mungkin saya merasa berada di posisi itu dengan apa yang saya lakukan. Duduk pada cabang sebuah pohon, sesekali turun dan berbicara, bersuara berteriak. Mengamati, dan kemudian memberitahu.

Saya menulis ini, karena pada masa ini ada gejolak yang cukup ramai terkait dengan beberapa peristiwa yang cukup menyita perhatian, revisi UU KPK, mundurnya para pemimpin KPK sebelum masa tugas berakhir, akan dilakukan pengesahan RUU KUHP yang sudah lama ditunggu namun masih menyisakan banyak perdebatan dan dirasa perlu untuk didiskusikan lebih lanjut.

Bagi saya, semua hal menarik itu membuat saya masuk dalam ruang yang saya tidak pahami akan pengenalan diri sendiri. Saya melihat sendiri bagaimana teman-teman saya berjuang agar tidak dilakukan revisi terhadap UU KPK, dan bagaimana yang lain berjuang agar tidak disahkan RUU KUHP. Saya melihat bagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang hal itu, ada yang menolak ada yang menerima.

Sejujurnya, mungkin sudah lebih dari 2 tahun saya menutup diri dari akses informasi dari media televisi. Saya bahkan bisa dalam 1 tahun hanya menonton televisi maksimal 2-3 jam bila diakumulasikan. Alasan saya cukup sederhana, saya ingin keluar dari lingkaran dan ingin memposisikan diri berada di luar lingkaran untuk dapat melihat lebih jelas. Karena saya tahu, dalam masa ini setiap orang serasa dihendaki untuk memilih dalam posisi apa.
Dunia bergerak begitu cepat, hingga setiap orang lupa untuk berhenti dan bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa kita melakukan ini? Bagaimana melakukan hal ini? Apa sebenarnya yang kita sedang kerjakan?
https://www.artstation.com/artwork/xzJoqm


Kemudian, ada golongan yang menyatakan bagaimana mungkin mengkritik sesuatu yang belum terjadi? Dan golongan lain menyatakan, kita bisa melihat bagaimana akhirnya dari proses yang sudah terjadi. Apakah harus menunggu kejadian dulu baru bereaksi? Dan saya memilih diam, mengamati dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Ada yang berkata, ini karena kalian memilih pemimpin yang salah, lain berkata saya tidak menjadi bagian dari orang yang bertanggung jawab atas terpilihnya pemimpin ini. Semakin menarik dan semakin ramai, hingga kita kadang lupa apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa hal ini terjadi. Kita paham, mereka yang dahulunya frontal, bisa tiba-tiba menjadi diam. Semua pada akhirnya tentang menyelamatkan diri sendiri, dan kepentingan.

Berbicara mengenai kepentingan, kita sering mengabaikan apa kepentingan yang sebenarnya sedang diperjuangkan, oleh siapa dan kenapa.

Zaman dahulu, salah satu hasutan atau tipu daya iblis yang membuat Adam dan Hawa jatuh kedalam dosa adalah bahwa mereka akan dapat seperti Allah. Ada banyak hal yang dapat menggambarkan Allah, tapi satu hal yang jelas yang dijanjikan oleh Iblis kepada Adam dan Hawa adalah mereka akan seperti Allah, memiliki kekuasaan tentunya.

Kekuasaan, banyak orang menginginkan hal ini, bahkan rela melakukan apa saja demi memperolehnya. Kenapa manusia sangat ingin berkuasa? Sebatas yang saya pahami saat ini, jawaban yang terpikirkan oleh saya adalah karena mereka memiliki kepentingan, kepentingan duniawi pun kepentingan sorgawi. Tapi kecenderungannya adalah kepentingan duniawi, karena hidup di dunia, kita membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan tersebut.

Kenapa harus berkuasa? Salah satu jawabannya, karena dasarnya setiap manusia adalah setara, kekuasaan memberikan jaminan akan kedudukan yang lebih tinggi sehingga dia memiliki legalitas dan otoritas untuk melakukan hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia lainnya, karena hal itu hanya dimungkinkan bila memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Saya ingat satu kisah dalam Alkitab, awalnya bangsa Israel itu tidak memiliki raja, mereka langsung berinteraksi dengan Allah, melalui perantaranya para Nabi. Tetapi mereka, dikarenakan bangsa-bangsa disekeliling mereka memiliki raja, pada akhirnya mereka mendesak kepada Nabi tersebut untuk menyampaikan kepada Tuhan bahwa mereka ingin dipimpin oleh seorang raja. Padahal, mereka sudah dipimpin langsung oleh sang Penguasa Alam Semesta, Raja segala raja.

Hal menarik menurut saya adalah, manusia sering lupa akan siapa dirinya, sehingga dia meminta dan atau melakukan yang bukan yang terbaik menurut Allah, tapi menurut dirinya sendiri sebagai manusia, pada akhirnya adalah kekuasaan. Dan kemudian, diberikanlah seorang raja bagi bangsa Israel, raja pertama adalah Saul, selanjutnya adalah Daud, dan kemudian Salomo. Apa yang menarik dari mereka? Mereka adalah raja yang juga dipilih Tuhan, tapi apakah mereka tidak berdosa atau jatuh kedalam dosa? Jelas, mereka berdosa dan jatuh kedalam dosa, sebab mereka adalah manusia yang tidak sempurna seperti Allah. Lantas apa yang terjadi, padahal mereka memiliki kekuasaan, ya terjadi pertumpahan darah dan pergolakan, karena kekuasaan itu cukup besar dan manusia akan sangat mudah lupa diri ketika memilikinya.

Kembali ke masa ini, apa yang kita alami saat ini adalah perasaan yang bagi saya sudah dialami oleh bangsa-bangsa sejak dahulu, namun hanya berganti format saja. Kita memilih pemimpin karena dia memiliki kepentingan yang sama dengan kita, atau pemimpin yang saat ini adalah orang yang meyakinkan kita bahwa dia mampu mengakomodir dan mampu mewujudkan seluruh kepentingan kita.

Adakah terlalu cepat saya menyimpulkan bahwa sebenarnya pada akhirnya berbicara tentang kepentingan. Ada kemarahan besar saat ada kepentingan yang tidak diakomodir, kenapa? Karena merasa dirinya tidak diakui. Eksistensinya dianggap tidak ada. Kemudian berjuang, marah, berteriak agar di dengarkan atau melakukan tindakan lainnya.

Dari semua hal ini, saya kemudian menjadi semakin merenung. Saya memutuskan untuk menggali bagi saya sebuah lubang, dan membuat sebuah ruang dalam tanah, sebuah gua keheningan yang memisahkan saya dengan dunia permukaan. Saya berusaha berdiam diri, berkontemplasi dengan keterbatasan yang saya miliki, menyaring semua hal yang ingin saya lihat dan saya dengar, sesekali saya menengadahkan kepala saya ke langit, dan melihat sejenak dunia permukaan kemudian menenggelamkan diri saya dalam gua keheningan itu kembali, berkontemplasi, berpikir, menyiapkan diri untuk keluar dan melakukan tugas saya.

Saya paham beberapa hal, bahwa semuanya ada polanya, bahkan apa yang terjadi saat ini ada polanya, dan bahwa ada orang yang berusaha membuat fakta sedemikian rupa. Maka dari itu saya semakin merenung, dunia permukaan bagi saya bergerak terlalu cepat, ramai, hingar bingar. Saya memilih menyepi, memilah, menyaring dan berusaha mengamati dengan seksama, karena saya tahu di masa depan pola itu akan berulang, hanya format dan orang-orangnya saja yang berbeda.

Saya berusaha diam, berusaha berhenti sejenak dalam “gua keheningan”,saya paham orang akan melihat saya tidak peduli, tetapi mereka tidak perlu tahu segala sesuatunya. Bukankah ketidakpedulian adalah cara untuk mendapatkan keheningan, kita harus acuh kepada setiap suara, keriuhan, sehingga kita bisa berada dalam gua keheningan untuk memilih dan memilah apa yang hendak kita dengar dan lihat.

Sampai pada pikiran ini saya tuliskan, saya merasa tidak mengetahui apa-apa, serasa bodoh dan masih ingin belajar lebih banyak lagi. Benarlah, bukan kehendak saya lahir ke dunia ini, tapi kehendak Tuhan lah yang sebenarnya sedang saya coba pahami dan laksanakan. Bahkan ada kegelisahan, bagaimana mereka menilai dan mengetahui apa yang menjadi pikiran saya? Ketakutan akan penghakiman manusia, menurut saya adalah wajar.

Tapi,kemudian saya mempertanyakan ketakutan itu, bahwa bila memang bukan manusia yang menghendaki saya lahir di bumi ini, lantas kenapa saya harus memprioritaskan penilaian manusia atas apa yang saya lakukan?

Lantas bagaimana selanjutnya? Apakah cukup dengan membawa-bawa nilai atau kata Tuhan untuk menyelamatkan saya dari penilaian dunia ini? Bukankah ini dapat diartikan saya berusaha membuat Tuhan itu sebagai tameng saya agar saya terlepas dari tanggung jawab saya di dunia ini, seolah saya hanya mau melakukan apa yang tidak membuat saya kesulitan atau bila itu terkait dengan hal yang mengancam eksistensi saya secara langsung baru saya turun tangan?

Pada akhirnya pertanyaan ini saya biarkan terus ada, untuk mengingatkan saya bahwa belum saatnya saya keluar dari goa keheningan ini. Ada banyak hal yang masih harus dipersiapkan. Dan, pada akhirnya semua akan memilih jalan nya masing-masing.
Bagi semua yang berjuang dan tahu apa yang diperjuangkan, berjuanglah. Bagi yang tidak ingin berjuang dan merasa tidak perlu berjuang, bertahanlah. Dunia ini tidak sebagaimana adanya, ada hal yang tidak terlihat tetapi sedang bekerja. Sehebat apa manusia sehingga mampu bertahan dengan pikirannya yang kerdil?

Berpikirlah, berbuatlah, bertanggung jawablah. Bertanyalah setiap hari, kenapa harus seperti ini? Bagaimana seharusnya melakukan ini? Apa yang harusnya dilakukan?

Bukankah hal lain dari kebanggaan kita sebagai manusia adalah diberikan akal untuk mempertanyakan segala sesuatu, kepuasaan bagi yang berpikir adalah ketika dia menemukan jawaban atas apa yang ditanyakan, dan kemudian membawa pertanyaan lain lagi, sehingga dia tenggelam dalam kontemplasinya sendiri dan bersyukur pada Yang Kuasa atas kebesarannya.

Pejambon, 16 September 2019, 02.33 WIB.

Komentar

  1. Sangat membantu sekali. Saya harap dapat terus berkarya untuk Bapak Arif Sharon Panjtain.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer